Macet, rasanya situasi tersebut sudah tidak aneh lagi bagi para pengguna jalanan di kota-kota besar di Indonesia, termasuk juga di kota Jakarta, kota yang saat ini saya tinggali. Baik pagi, siang maupun sore hari rasanya hampir tak ada bedanya, jalanan selalu penuh sesak oleh kendaraan-kendaraan yang hampir tak bergerak. Dibilang bosan, tentu saja fenomena macet sangat membosankan, tapi mau bagaimana lagi? Ya inilah Jakarta, kota yang terkenal dengan kemacetannya.
Kemacetan tentu saja tidak akan
menjadi masalah yang serius seandainya saja tidak memiliki dampak yang negatif serta
merugikan banyak pihak. Beberapa dampak nagatif yang saya kutip dari Wikipedia
di antaranya: kerugian waktu, pemborosan energi, meningkatkan polusi
udara, meningkatkan stress pengguna jalan, serta mengganggu kelancaran
kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan
tugasnya dan masih banyak lagi dampak negatif lainnya. Pada intinya macet hampir
tidak memberikan dampak yang menguntungkan, kecuali bagi pedagang asongan yang sering
menjajakan dagangannya di tengah-tengah kemacetan.
Macet merupakan masalah yang
sangat klasik. Pertama kali saya mendengar istilah macet saja adalah ketika
usia Saya masih balita, yaitu lewat lagu Si Komo Lewat Tol yang dinyanyikan
oleh Melisa dan Kak Seto. Lagu tersebut sebenarnya secara tidak sengaja telah
memberikan solusi untuk kemacetan, yaitu lewat jalan tol. Namun pada
kenyataanya, saat ini jalan tol sudah hampir tak ada bedanya dengan jalan
biasa, sama saja macetnya. Dan dari lagu Si Komo Lewat Tol tersebut kita tahu,
bahwa ternyata dari dulu macet memang cukup membuat bingung Pak Polisi dan juga
orang-orang.
Secara umum, kemacetan terjadi
karena adanya ketidakseimbangan antara pertumbuhan kendaraan bermotor yang
terus bertambah dibanding dengan daya tampung jalan yang digunakan sebagai
sarana untuk berjalan kendaraan-kendaraan tersebut. Yah, bagaimana tidak terjadi
penumpukan kendaraan di jalan yang kapasitasnya tidak bertambah sedangkan
kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan tersebut setiap hari jumlahnya semakin
bertambah dan tak terbendung?
Dari penjelasan singkat barusan, sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi kemacetan solusinya
cuma 2, yaitu: pembatasan volume kendaraan atau menambah sarana jalan. Sayangnya,
pada prakteknya penyelesaianya tidaklah sesederhana itu. Solusi-solusi
tersebut tidaklah sebegitu mudahnya untuk diimplementasikan di lapangan. Banyak
sekali aspek yang menjadi kendala serta tentu akan timbul pro dan kontra dalam
pelaksanaannya.
Seperti yang kita ketahui, untuk
mengatasi hal ini, pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Bahkan telah banyak upaya dari pemerintah agar masalah kemacetan bisa teratasi, mulai dari: pengadaan
busway, layanan MRT (Mass Rapid Transit), comutter line, pemberluakuan pemberlakuan sistem ganjil genap dan 3 in 1 pada waktu-waktu tertentu di beberapa ruas jalan protokol, belum ditambah lagi wacana tentang
pemindahan Ibu Kota Negara ke kota lain yang sampai sekarang solusi-solusi
tersebut tampak belum terasa efeknya dalam mengurangi kemacetan yang ada di
Jakarta.
Banyak yang beranggapan bahwa
kemacetan di Jakarta itu tidak akan pernah terselesaikan, (layaknya permasalahan abadi rumah tangga dimana uang belanja selalu dirasa kurang). Bisa jadi opini
tersebut tidak sepenuhnya benar, tapi tidak juga sepenuhnya salah. Pendapat
tersebut bisa saja menjadi benar jika kita semua diam saja, tidak memiliki
kepedulian serta kesadaran dalam berlalu-lintas serta tidak berbuat apa-apa
untuk mengurangi kemacetan. Saya sendiri yakin bahwa setiap permasalahan yang
ada, sesulit apapun itu, jika kita mau mencari dan mau memikirkannya pasti
selalu ada jalan keluarnya. Lucunya, kebanyakan orang yang pesimis dengan
permasalahan macet di Jakarta tadi justru malah sibuk mencari pihak-pihak yang bisa
disalahkan, bukan malah mencari solusi terbaik bagaimana kemacetan tersebut bisa
terpecahkan, padahal yang kita butuhkan untuk memecahkan masalah kemacetan ini hanyalah sebuah aksi.
Saya yakin setiap orang punya
solusi sendiri-sendiri, selama orang tersebut masih memiliki akal sehat. Dan berikut ini adalah beberapa langkah yang menurut
Saya mungkin bisa dilakukan untuk membantu mengurangi permasalahan kemacetan
lalu lintas yang ada di Jakarta:
Memperbaiki pelayanan transportasi umum
Ada beberapa hal yang menjadi
pertimbangan seseorang merasa enggan untuk menggunakan kendaraan umum, salah satunya
adalah dari segi keamanan dan kenyamanan. Banyak orang yang malas untuk
menunggu angkutan umum yang kadang tidak tepat waktu, jalan secara ugal-ugalan,
belum lagi mereka harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya serta terus meningkatnya
angka kriminalitas di dalam angkutan umum. Ya tentu saja hal ini membuat banyak
orang menjadi berpikir dua kali ketika hendak memilih untuk menggunakan
transportasi umum.
Sudah selayaknya anjuran
pemerintah untuk menggunakan transportasi umum diimbangi dengan peningkatan
pelayanan sarana transportasinya, mulai dari segi keamanan, kenyamanan, keteraturan,
kedisiplian pengemudinya, ketepatan waktu serta tarifnya yang terjangkau sehingga
membuat orang tak lagi perlu berpikir untuk beralih menggunakan kendaraan umum yang
pada akhirnya kepadatan lalu lintas yang ditimbulkan oleh banyaknya penggunaan
kendaraan pribadi dapat berkurang.
Batasi jumlah kendaraan
Banyak yang berpikir bahwa “Kalo
ga pengen macet, ya gak usah beli kendaraan”. Oke, pendapat tersebut memang
tidak ada salahnya, dengan tidak membeli kendaraan baru mungkin bisa saja kita
dapat terhindar dari penumpukan kendaraan bermotor di jalanan, lantas bagaimana
dengan nasib produsen kendaraan tersebut?
Saya rasa pembatasan jumlah
kendaraan dengan cara mengurangi angka pembelian merupakan hal yang masih sulit
untuk dilakukan. Sebenarnya masih ada cara lain yang mungkin dapat dilakukan
yang masih ada kaitannya dengan pengendalian jumlah kendaraan agar dapat sesuai
dengan daya tampung ruas jalan yang ada. Misalnya dengan membatasi satu Kartu Keluarga hanya boleh digunakan untuk kepemilikan kendaraan dalam jumlah tertentu, atau satu rumah
hanya boleh memiliki kendaraan dalam jumlah tertentu, atau mungkin
juga dengan cara membatasi umur kendaraan seperti yang sudah dijalankan di
beberapa Negara tetangga, serta bisa juga dengan sering melakukan penertiban
kendaraan-kenadaraan yang tidak dilengkapi dengan surat-surat.
Pemanfaatan moda air
Di kota-kota besar di luar negeri
sana tidak sedikit yang memanfaatkan kendaraan air yang memanfaatkan moda air
sebagai sarana transportasi massal. Di Jakarta sendiri sebenarnya banyak kali
atau sungai serta kanal yang mungkin bisa kita manfaatkan sebagai sarana
transportasi alternatif. Namun lagi-lagi tentu saja hal ini juga tidak
segampang itu, pemerintah perlu melakukan perbaikan serta pembenahan bantaran
sungai dan kanal agar bisa digunakan dengan baik sebagai sarana prasarana
angkutan umum air serta dapat agar terintegrasi dengan baik yang pada akhirnya
dapat mengurangi kemacetan lalu lintas.
Untuk mewujudkan hal ini, memang
dibutuhkan dana serta jangka waktu yang tidak sedikit. Semoga saja hal ini bisa
untuk dipertimbangkan sebagai solusi jangka panjang mengatasi kemacetan di kota
Jakarta.
Pengaturan jam kerja, jam sekolah, serta jam perusahaan agar tidak dalam jam yang bersamaan
Macet kerap terjadi pada jam-jam
sibuk, terutama pada jam-jam berangkat sekolah, berangkat kantor serta jam-jam
kerja lainnya. Sebab, pada jam-jam tersebut orang-orang yang memiliki aktifitas
khususnya yang melakukan perjalanan menggunakan kendaraan akan tumpah ruah ke
jalan memadati jalanan yang ada. Untuk mengurangi kemacetan, agaknya hal ini mungkin
perlu untuk dikaji ulang agar tidak terjadi kepadatan kendaraan pada jam-jam
aktifitas tersebut.
Evaluasi putaran (U Turn) dan traffic light (Lampu Merah)
Di sadari atau tidak, putaran (U
Turn) di beberapa titik pusat perbelanjaan serta perkantoran sering
mengakibatkan penyempitan yang berujung pada kepadatan alur lalu lintas.
Keberadaan putaran tersebut memang sangat bermanfaat, namun jika terlalu banyak
serta jarak yang terlalu berdekatan tentu saja malah akan menimbulkan kepadatan
kendaraan yang melintas. Selain untuk mengurangi potensi kemacetan, evaluasi
putaran (U turn) tersebut juga diharapkan dapat mengurangi keberadaaan Polisi Cepek.
Sama halnya dengan keberadaan traffic
Light atau yang lebih kita kenal dengan sebutan lampu merah. Umumnya lampu
merah berfungsi sebagai pengendali arus lalu lintas, namun di beberapa titik durasi
traffic light yang terlalu lama malah menjadi sumber kemacetan dikarenakan
terjadinya penumpukan kendaraan. Mungkin ada baiknya durasi traffic light
tersebut agar dipertimbangkan kembali.
Dari sekian banyak solusi yang
tadi saya uraikan semua itu takkan berarti apa-apa tanpa adanya kerja sama
dengan peran masyarakat sebagai pengguna jalan itu sendiri. Sebab yang saya
lihat kemacetan itu sendiri kerap terjadi justru karena diakibatkan banyaknya
pengguna jalan yang melanggar peraturan lalu lintas. Mulai dari angkot yang ngetem bukan pada tempatnya, penggendara
sepeda motor yang suka melawan arus dan putar balik bukan pada tempatnya, mobil
yang parkir sembarangan, belum lagi kendaraan-kendaraan yang tidak dilengkapi
dengan surat-surat yang masih sering berkeliaran di jalanan yang hanya menambah
volume kendaraan di jalanan serta pelangaran-pelanggaran lain yang masih saja
sering dilakukan secara massal. Sepertinya terdengar sepele, namun justru
karena pelanggaran-pelanggaran sepele itulah justru yang justru berpotensi
untuk memperparah kemacetan yang ada.
Beberapa orang pasti pernah
melakukan pelanggaran dalam berlalu lintas (seperti menerobos lampu merah,
masuk ke jalur busway atau putar balik bukan pada tempatnya, dan lain-lain)
dengan alasan: Tidak adanya polisi yang bertugas di lokasi tersebut. Beberapa
pengendara yang memang sudah terbiasa tidak tertib tentu saja menganggap hal
ini merupakan sebuah kesempatan untuk melanggar peraturan lalu lintas, beberapa
orang lagi mungkin cuma ikut-ikutan kendaraan yang ada di depannya yang
jelas-jelas salah. Jika hal ini terus dibiarkan, maka keadaan ini akan terus
memunculkan kesempatan-kesempatan bagi para pengendara yang tidak tertib untuk
terus melakukan pelanggaran.
Di beberapa tempat yang kebetulan
sering saya lewati, beberapa petugas terkesan membiarakan para pengendara yang
terbukti melakukan pelanggaran. Saya sendiri kurang mengerti, entah memang ada
beberapa golongan tertentu yang memang berhak mendapatkan kompensasi bebas dari
sanksi, atau memang ada jam-jam tertentu yang memang diperbolehkan untuk
melakukan pelanggaran, atau memang ada alasan lain.
Bukankah sudah menjadi kewajiban
petugas untuk menindak para pelanggar? Yang pasti kesalahan para pelanggar yang
dibiarkan oleh para petugas akan membuat mereka berpikir seolah-olah kesalahan
tersebut sudah menjadi sebuah kebenaran. Dan dengan begitu akan membuat mereka menjadi
teribiasa dengan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas. Mengutip dari pesan Bang
Napi yang sudah saya sedikit ubah: “Pelanggaran
berlalu lintas terjadi bukan karena adanya niat pengendaranya, tapi karena
adanya kesempatan...”. Untuk itulah saya berharap kepada para petugas untuk
selalu menindak tegas para pelanggar tersebut.
Pada dasarnya masyarakat bukan
takut pada peraturannya, tapi takut pada petugas yang ada. Masyarakat hanya
tertib ketika ada petugas, dan ketika tidak ada petugas mereka akan berbuat
semaunya di jalanan. Ketika pengguna kendaraan tersebut tidak tertib tentu saja
akan mengganggu hak pengendara lain yang pada akhirnya berpotensi memperparah
kemacetan, sebaliknya ketika pengendara tersebut tertib dengan peraturan yang
ada maka kemungkinan situasi kemacetan akan sedikit berkurang.
Beberapa bulan lalu, tidak
sengaja saya menyaksikan sebuah liputan yang menayangkan ide penempatan manekin
atau boneka manusia berseragam polisi yang diletakan di tepi jalan dengan
tujuan untuk mengantisipasi kecelakaan. Boneka-boneka tersebut secara tidak
sengaja telah memberi efek visual kepada setiap pengendara sehingga mereka secara
otomastis akan mengurangi kecepatan mereka serta menghindari segala bentuk
pelanggaran dalam berlalulintas. Selain ide tersebut cukup unik dan kreatif, nyatanya
cara tersebut cukup efektif jika dilihat dari penurunan angka kecelakaan yang ada di lokasi
tersebut.
Saya pikir ide tersebut bisa
diadopsikan di beberapa jalan di kota Jakarta, terutama di titik-titik yang
sering ditemukan pelangaran-pelangaran berlalu lintas. Misalnya di sekitar
lokasi lampu merah yang sering ditemui para penerobos lampu merah, di sekitar
lokasi putaran yang tidak digunakan sebagai mana mestinya, atau mungkin di
sekitar lokasi yang sering digunakan oleh pengendara untuk melawan arus. Dengan
adanya manekin-manekin yang menyerupai personil kepolisian lengkap dengan
seragam kepolisian, serta helm polisi tersebut diharapkan bisa berfungsi untuk mengurangi
jenis-jenis pelanggaran lalu lintas yang sering dilakukan oleh masyarakat.
Terlepas dari pro dan kontra, dengan
adanya manekin-manekin mirip polisi tersebut bukan berarti polisi yang beneran
bisa bebas dari tugasnya. Ketika ada pengendara yang masih saja nekat melakukan
pelanggaran, tentu saja ini menjadi tugas polisi yang beneran untuk segera
menindak pelaku pelanggaran tersebut.
Kemacetan bukanlah masalah yang
harus di selesaikan oleh pemerintah sendiri ataupun oleh Polisi Lalu Lintas
sendiri, tapi masalah kemacetan adalah masalah yang harus kita selesaikan
bersama-sama baik oleh pemerintah, petugas maupun masyarakat selaku sebagai pengguna
jalan.
Selama ini kita hanya berpikir
bahwa untuk mengatasi kemacetan lalu lintas adalah tugas pemerintah. Sungguh
sebuah pemikiran yang dangkal. Apappun kebijakan pemerintah terkait untuk
mengatasi kemacetan tidak akan artinya apa-apa jika kita sendiri sebagai
pengguna jalan tidak turut serta berperan untuk mengatasi kemacetan misalanya
dengan taat pada tata tertib lalu lintas yang ada. Hal kecil inilah yang diharapkan
bisa membawa dampak yang besar ketika kita semua mau untuk melakukannya.
Saya sendiri heran, meski
pelanggar sering diberi sanksi tegas, namun rasanya sanksi-sanksi tersebut
tidak membuat mereka jera. Terbukti hampir hampir setiap hari selalu saja ada
pelanggar yang melakukan pelanggaran yang sama. Sebenarnya bagian mananya yang
salah? Apakah sanksi yang dijatuhkan masih terbilang ringan sehingga tidak
menimbulkan efek jera atau memang para pelanggarnya yang memang bebal dan susah
diatur?
Sebagai pengguna jalanan di
Jakarta saya berharap pada Polisi Lalu Lintas yang bertugas untuk selalu
menindak tegas setiap pelanggar. Saya rasa, hanya dengan cara tersebut
kemacetan dapat sedikit berkurang. Mengingat entah berapa banyak solusi yang
dihadirkan oleh pemerintah untuk mengurangi kemacetan namun sampai sekarang
hasilnya masih saja nihil.
Banyak orang yang tidak sadar
bahwa mereka yang mengeluhkan kemacetan justru diri mereka sendirilah yang
menjadi biang kemacetan yang ada di Jakarta. Percuma setiap hari teriak macet
jika mereka sendiri tidak tertib dan disiplin dan berkendaraan. Mereka yang
tidak mau mengalah, mereka yang tidak menghargai hak pengguna jalan yang lain,
dan mereka yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Orang-orang
tesebutlah yang menjadi pemicu semakin kronisnya kemacetan yang ada di Jakarta.
Sejitu apapun solusi pemerintah
untuk mengatasi kemacetan, hanya akan terdengar sebatas basa-basi, selama semua
orang kurang punya kesadaran diri dalam berlalu lintas. Saya yakin tidak
sedikit juga orang yang sadar bahwa yang mereka lakukan itu salah, bahwa yang
mereka lakukan itu melanggar hak orang lain, dan yang mereka lakukan itu
terkadang membahayakan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, namun tetap
saja mereka melakukanya dan seolah-olah telah membudaya. Hal tersebut
menandakan bahwa kesadaranpun tidak cukup membuat mereka sadar.
Untuk menanggulangi hal tersebut
saya hanya berharap sepenuhnya kepada Ditlantas selaku yang bertugas untuk
menyelenggarakan dan membina fungsi lalu lintas kepolisian bekerja sama dengan
masyarakat selaku sebagai pengguna jalan untuk dapat meningkatkan kesadaran,
kedisiplinan, serta ketaatan dalam berkendara.
*Tulisan ini merupakan versi penuh dari tulisan ini
*Tulisan ini merupakan versi penuh dari tulisan ini
- Kamis, Oktober 01, 2015
- 0 Comments