Catatan Hati Seorang Pengendara Sepeda Motor

Senin, Juli 13, 2015


Hampir lima tahun sudah saya menjadi pengguna setia jalanan di Jakarta, hampir lima tahun juga saya mulai membiasakan diri untuk menikmati enak nggak enak macetnya kota Jakarta. Ya, sebab rasanya tidak ada cara lain lagi selain menikmatinya ketika kita harus dijejali dengan fenomena macet yang hampir tiap hari terjadi. 

Kurang lebih lima kali dalam seminggu saya harus menempuh perjalanan bolak balik dari Ujung Menteng ke Kelapa Gading dengan sepeda motor. Bagi saya itu perjalanan yang cukup lumayan, setidaknya lumayan cukup untuk bikin ketek saya pegel dan pantat panas (terutama ketika terjebak macet). O iya, untuk sekedar informasi buat yang belum tau, jarak antara Ujung Menteng ke Kelapa Gading itu kurang lebih sama seperti jarak dari Kelapa Gading ke Ujung Menteng. Ya kira-kira segitulah jaraknya…

Selain udara yang panas dan juga banjir, macet memang sudah menjadi hal yang lumrah untuk kota yang berjuluk Metropolitan ini. Kemungkinan besar orang malah akan merasa heran ketika Jakarta bebas dari cuacanya yang panas, dari banjir tahunan dan juga macet harian. Terbukti dari celoteh kebanyakan orang ketika hal yang saya sebutkan tadi tidak terjadi, mereka tentu akan berkomentar "Kok tumben ya Jakarta dingin? Tumben ya Jakarta nggak banjir? Tumben banget sih jalanan Jakarta lancar?" Dan dari ketiga masalah tadi, sejauh ini cuma macet doang sih yang tidak mengenal musim.

Banyak cara yang dilakukan oleh pengendara sepeda motor untuk menghindari macet, salah satunya adalah dengan cara memotong jalan. Meskipun cara ini dianggap efektif untuk menghindari kemacetan, tapi mungkin banyak yang belum menyadari dampak yang dihasilkan dari para pemotong jalan tersebut. Sebab, bagaimanapun, kalo jalan sering kita potong-potong, lama-lama ya jalan jadi tambah pendek, dan ujung-ujungnya ya bakal habis juga. Nah, ketika jalan udah habis kita potong-potong, terus kendaraan kita mau lewat mana lagi coba? Hehehe...

Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan melalui Jalan Alternatif, yaitu jalan lain dari yang biasanya digunakan, namun tetap dengan tujuan yang sama. Oke, ini terdengar lebih efektif memang dari cara potong-potong jalan, tapi satu hal yang perlu kamu ketahui bahwa : Fungsi jalan alternatif itu pada kenyataannya bukan untuk menghindari kemacetan, tapi lebih untuk memindahkan kemacetan dari tempat yang biasanya sering macet ke tempat yang biasanya jarang sekali macet. Ya judulnya tetep macet juga kan?

Kemacetan yang terjadi di Jakarta memang tidak lepas dari populasi kendaraan bermotor yang sulit untuk dibatasi, khususnya untuk kendaraan roda dua. Faktanya di setiap gang yang saya lewati, pasti ada saja kendaraan roda dua yang terparkir. Ini baru di gang kecil yang hanya muat untuk dua sepeda motor berpapasan (meski tak jarang setang dengan setang saling mentok), belum di jalan yang agak gedean dikit. Hal ini bisa dilihat di jalanan Jakarta setiap pagi dan sore hari. Rasanya seperti semua orang yang mempunyai motor ngeluarin semua motornya ke jalanan, bahkan yang nggak punya motor juga ikut-ikutan ngeluarin motor dari garasi, tapi nggak tau deh motor siapa (baca=maling). 

Dalam menyikapi hal ini, pemerintah tidak tinggal diam. Hingga munculah kebijakan yang menyarankan supaya para pengguna kendaraan pribadi agar beralih ke kendaraan umum. Sebelum saya bekerja di tempat sekarang saya bekerja, terus terang saya masih sering menggunakan kendaraan umum. Mulai dari angkot, metomini, hingga busway pernah saya coba. Tapi setelah saya pikir-pikir, senyaman apapun naik kendaraan umum, tetap tidak akan senyaman dan seaman naik kendaraan milik kita sendiri. Malahan kalo boleh saya menuduh, selama ini justru kendaraan-kendaraan umum tersebutlah yang jadi biangnya macet.. Mulai dari angkot yang ngetem bukan pada tempatnya, menaikan serta menurunkan penumpang sembarangan, serta beberapa kendaraan umum yang kebetulan kosong yang berjalan pelan sambil mencari sewa sehingga mengganggu laju kendaraan yang lain. Gimana mereka nggak bikin macet coba?

Belum lagi saat musim hujan seperti yang belum lama ini terjadi, jalanan yang rusak ditambah lagi genangan air akan menghasilkan kombinasi yang pas untuk menambah kemacetan. Baru hujan seharian saja sudah banjir selutut, terus bagaimana kalo hujannya sampai dua hari? Banjirnya pasti jadi dua lutut dong?

Intinya, sampai saat ini belum ada solusi yang jitu untuk mengurangi kemacetan. Bahkan beberapa polisi yang ditugaskan di jalanan untuk mengurai kemacetan pun tampak tidak begitu menolong. Entah mengapa saya lebih merasa bahwa polisi yang bertugas di pinggir jalan itu lebih terlihat buat nakut-nakutin ketimbang buat bikin masyarakat merasa aman.

Jujur, entah mengapa saya selalu merasa deg-degan serta gugup ketika melihat petugas saat saya sedang berkendara. Padahal saya sendiri tidak sedang melakukan pelanggaran. Helm serta kelengkapan surat-surat kendaraan juga sudah menjadi barang wajib yang harus saya bawa. Mungkin sayanya saja yang terlalu kege-eran atau apa. Takut mendadak petugas tersebut memberhentikan saya lalu mencoba mencari-cari kesalahan saya dan kemudian menilang saya. Yang jelas tentunya bukan saya saja yang punya rasa takut yang berlebihan kepada petugas seperti yang saya rasakan, kamu yang lagi baca tulisan ini juga mungkin termasuk tipe orang yang serupa dengan saya.

Mungkin kita sudah sering mendengar istilah Polisi Berpakaian Preman, tapi kenapa tidak ada istilah Preman Berpakaian Polisi? Bukankah jika dipikir-pikir di antara keduanya punya sebuah kesamaan? Beberapa oknum dari  mereka sama-sama suka mintain duit dipinggir jalan. Hingga terlahirlah sebuah slogan bernada satir yang sudah tidak asing lagi dikalangan pengguna jalan raya : Damai itu Gocap.

Tapi tenang, tidak semua polisi tampak menakutkan kok, ada juga polisi yang tidak membuat saya takut saat saya temui di jalan, salah satunya adalah polisi tidur.

Menurut Wikipedia, Polisi tidur atau disebut juga sebagai Alat Pembatas Kecepatan adalah bagian jalan yang ditinggikan berupa tambahan aspal atau semen yang dipasang melintang di jalan untuk pertanda memperlambat laju/kecepatan kendaraan. Jadi selain polisi yang ini, saya anggap sebagai polisi tidak tidur, termasuk bapak-bapak yang sering bediri dipinggir jalan yang menggunakan rompi hijau menyala.

Kadang saya bingung beberapa oknum polisi tidak tidur yang kelakuannya tidak lebih baik dari polisi tidur, bedanya polisi tidur tidak pernah menuntut gaji, sedang polisi tidak tidur, selain menerima gaji, masih sering juga melakukan pungutan liar di jalanan. Preman banget kan?  Maaf, bukannya saya pesimis dengan petugas, di sini saya hanya mencoba untuk kritis.

Seperti yang telah saya jelaskan tadi, beberapa polisi memang tampak lebih menakutkan ketimbang preman. Salah satunya adalah fenomena pengendara sepeda motor yang suka malas memakai helm. Agak miris memang, saat melihat beberapa orang yang mengenakan helmnya hanya ketika pada saat tau ada polisi yang bertugas ataupun pada saat ada razia, di luar itu mereka membiarkan kepalanya tanpa helm sambil berkendara.

Saya sendiri sering menemukan orang-orang yang menaruh helmnya di depan selangkangannya (dipangku), padahal dia sendiri sedang mengendarai sepeda motor. Entah apa motivasinya. Padahal seperti yang kita tau, helm itu tempatnya di kepala untuk melindungi organ yang ada di dalamnya terutama otak, bukan untuk melindungi selangkangan, kecuali kalau memang otaknya sudah pindah ke titit.

Helm itu bukanlah sekedar aksesoris belaka. Sejatinya helm itu digunakan untuk melindungi diri kita dari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama dari kecelakaan, bukan dari polisi (meskipun pada kenyataannya kehadiran polisi di jalanan terkadang adalah termasuk hal-hal yang tidak kita inginkan ketika kita tidak tertib berlalulintas. Hehehe…).

Banyak orang yang salah kaprah, mereka lebih sayang kepada uang yang mungkin tidak seberapa ketimbang sayang kepada nyawanya sendiri. Padahal jika dipikir-pikir lagi, denda tilang bagi orang yang tidak mengenakan helm itu tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan seandainya terjadi kecelakaan apalagi jika kecelakaan tersebut menyebabkan cedera pada bagian kepala. Bukankah uang bisa kita cari lagi, sedangkan nyawa setiap orang hanya diberi jatah masing-masing satu orang satu?

Saya jadi ingat kutipan yang saya ambil dari sebuah buku yang pernah saya baca: 

“Sebuah kesalahan yang dilakukan berulang-ulang, kalo dibiarkan, lama-lama bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran”.  

Salah satu pelanggaran yang paling sering dilakukan oleh pengendara sepeda motor adalah menerobos lampu merah. Jika saya perhatikan kelengkapan berkendaraan mereka sih sudah oke, jaket pake, sepatu pake, helm pake, tapi sayangnya otak mereka kadang tidak dipake. Dan alasan yang selalu mereka gunakan pun cukup klasik dan seragam: sedang terburu-buru. Tapi sekarang coba dipikir-pikir lagi deh, seburu-burunya orang yang lagi buru-buru, masa sih ada yang sampe otak-nya ketinggalan di rumah? Sehingga membuat mereka jadi nggak bisa mikir secara rasional ketika berkendara.

Menurut pengamatan saya, segala bentuk pelanggaran memang ada resikonya, namun dari sekian banyak pelanggaran yang paling sering dilakukan, menerobos lampu merah adalah pelanggaran yang paling besar resikonya. Selain membahayakan diri sendiri, hal tersebut juga sangat membahayakan bagi pengguna jalan yang lain. Seburu-burunya saya, saya mencoba untuk tidak melakukan pelanggaran menerobos lampu merah. Setidaknya saya sendiri punya alasan untuk tidak menerobos lampu merah : Saya tidak ingin mati konyol. Cukup hidup saja yang konyol, mati jangan.
 
Saya sendiri juga sering kesal ketika ada pengendara sepeda motor yang tidak sabar dan membunyikan klakson dengan biadab saat sedang lampu merah. Analoginya seperti saat kita sedang berada di dalam toilet umum dan ada seseorang yang mengetuk dari luar dan teriak-teriak supaya kita cepat keluar, udah jelas-jelas di dalem ada orang kenapa malah digedor-gedor? Siapa yang nggak kesel coba? Kalo sudah waktunya nanti juga kita akan mempersilahkan dia masuk, kenapa mesti digedor-gedor coba? Lagian siapa juga yang betah berlama-lama berada di lampu merah coba? Kecuali mas-mas bencong lampu merah.

Banyak juga orang yang mungkin belum tau, bahwa membunyikan klakson dengan biadab di tengah-tengah kemacetan itu merupakan salah satu kegiatan yang mubazir. Percuma. Apakah ketika kita membunyikan klakson berulang-ulang di tengah kemacetan kendaraan yang berada di depan kita lantas dengan segera akan minggir dan mempersilahkan kita untuk lewat duluan, nggak mungkin juga kan?

Hal lainnya yang paling ngeselin lagi adalah ketika kendaraan yang sedang berada di depan kita mendadak berhenti atau mendadak belok seenaknya tanpa memberikan isyarat sebelumnya. Hal ini paling sering biasanya dilakukan oleh Angkot. Mungkin memang benar kata orang bahwa : ‘Hanya Tuhan dan sopir angkot doang yang tau kapan dia akan belok dan kapan dia akan berhenti’.

Saya jadi ingat pengalaman saya beberapa waktu lalu. Saya mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang tepat di belakang angkot. Saya sebenarnya sudah jaga jarak dengan angkot tersebut, karena saya sadar kita bukan mahram. Hahaha. Tapi entah apa yang ada di kepala si sopir  tersebut sehingga mendadak dia menghentikan lajunya di tengah jalan. Terang saja hal ini membuat saya kaget dan reflek langsung menarik tuas rem sekaligus membelokan setang untuk menghindari angkot tersebut. Pengereman mendadak yang saya lakukan tadi mengakibatkan sepeda motor yang saya kendarai kehilangan keseimbangan, akibatnya saya hampir saja ditabrak oleh pesepeda motor lain yang ada di belakang saya. Beruntung saya tidak sampai kenapa-napa. Tapi lebih beruntung lagi si sopir angkot kampret tadi, sebab saya tidak membawa senapan angin kemana-mana.

Dari pengalaman saya tadi, pesan moralnya adalah : Apapun yang terjadi jangan pernah mengikuti kendaraan yang ada di depan kamu, apalagi kalo sudah tau kendaraan tersebut sudah nggak searah, pokoknya jangan deh...”.

Orang Indonesia merupakan orang yang gemar sekali menonton, entah menonton apapun itu. Terlebih jika yang ditonton itu gratis. Ada orang gila ditonton, ada orang berkelahi ditonton, bahkan ketika ada penonton ditonton.

Punya hobi menonton memang tidak salah, tapi ketika hobi tersebut sangat mengganggu hak orang lain ini sih tidak bisa dibiarkan. Mungkin kalian pernah dan sering melihat kerumunan pengguna jalan yang berhenti di jalan untuk melihat apa yang menurut mereka aneh, entah itu kecelakaan, kebakaran, atau apapun itu. Oke, rasa keingintahuan mereka memang tidak bisa disalahkan, tapi akibat dari ulah mereka yang kepo itu nggak sadar malah bikin jalan jadi macet. Kan nyusahin.

Beberapa tahun lalu saya pernah mengalami kecelakaan. Dan bisa ditebak, selang tidak berapa lama kendaraan yang lewat pun mulai berhenti buat nontonin saya jatuh. Awalnya satu, dua kendaraan yang berhenti, lama-lama hampir semua kendaraan yang lewat ikut-ikutan berhenti. Dan ngehenya lagi, dari sekian banyak orang-orang yang menonton tidak ada satupun yang berusaha untuk menolong saya. Bangke. Sakitnya memang tidak seberapa, tapi malu dan keselnya itu yang nggak ilang-ilang.

Oke, tidak munafik, saya sendiri bukanlah pengendara sepeda motor yang sempurna. Saya juga masih sering melakukan pelanggaran lalu lintas, sering berhenti di depan garis stop lampu merah, kebut-kebutan, bahkan saya malah sempat beberapa kali kena tilang. Jika dihitung-hitung total saya sudah tiga kali ditilang Polisi.

Tilang pertama terjadi karena saya tidak menyalakan lampu utama di siang hari. Kedua, karena saya melawan arus, dan yang ketiga (mudah-mudahan jadi yang terakhir) saya kembali melawan arus di jalur yang sama.

Pada penilangan yang pertama, saat itu saya belum terbiasa untuk menyalakan lampu pada siang hari. Saya pikir mata saya masih cukup normal untuk melihat dalam keadaan siang bolong di bawah sinar matahari. Saat itu saya memang belum paham maksud dan tujuan menyalakan lampu di siang hari. Tapi ya sudahlah, namanya juga sudah menjadi peraturan, kalo dilanggar ya tetap ditindak. Tanpa bisa ditawar, uang 100 ribu rupiah pun melayang. Mudah-mudahan sih uang tersebut masuk kantong Negara, bukan malah masuk kantong pribadi petugas yang menilang saya. Ups...!!!

Penilangan yang kedua terjadi sekitar 2013 silam. Terus terang saya masih bingung (lebih tepatnya tidak terima) pada penilangan kali itu. Saya sudah melewati jalur tersebut kurang lebih dari tahun 2012 hingga 2013. Saya sadar bahwa saya telah melawan arus selama satahun belakangan, tapi kenapa polisi yang bertugas di jalur tersebut sering membiarkan kita melawan arus seolah-olah perbuatan tersebut sudah dilegalkan? FYI, saya melawan arus dijalur tersebut tidak sendirian, tapi berjamaah dengan pengendara sepeda motor lain. Saat ditilang saya cuma bisa terima, karena percuma juga berdebat dengan petugas, buang-buang waktu doang. Beruntung kali ini cuma uang Rp 20.000 yang saya ikhlaskan. Lucu juga, ternyata ditilang kali itu nggak jauh beda seperti beli celana dalam di pasar, bisa ditawar sampai kedua belah pihak cocok sama harganya. Dari uang Rp 75.000 yang diminta, akhirnya bisa turun drastis jadi Rp 20.000 doang.

Kejadian tersebut berlalu, dan kembali saya melewati jalur yang sama dengan cara melawan arus lagi. Dan untuk yang kesekian kalinya juga polisi yang bertugas di sana membiarkan perbuatan illegal tersebut. Hingga pada suatu sore di pertengahan Februari 2015 kemarin. Kembali ada seorang petugas yang menghentikan laju kendaraan saya. Seperti biasa polisi tersebut basa-basi dengan pertanyaan standar : "Anda tau kesalahan Anda?" Dalam hati gue menjawab : "Oke, saya tau, tapi apakah bapak juga tau bahwa saya sudah lebih dari 3 tahun melewati jalur ini dengan melawan arus dan kenapa selama itu petugas hampir selalu membiarkan kami?" Belum sempat keluar dari mulut, akhirnya lagi-lagi saya sadar, berdebat dengan polisi itu sama saja debat sama isteri. Percuma.

Pada penilangan yang ketiga tersebut saya sadar sesadar-sadarnya, meskipun kadang-kadang petugas sering khilaf (kadang suka nilang, kadang tidak), melawan arus bukanlah perbuatan yang dibenarkan. Yang namanya salah ya tetap salah. Alasan saya melawan arus mungkin sama seperti alasan yang dipake oleh kebanyakan orang saat melawan arus : Ingin membuat perjalan  menjadi lebih singkat, tapi dengan cara yang tidak benar. Padahal, kalo dipikir-pikir bukankah polisi juga suka dengan hal-hal yang singkat? Salah satunya adalah dengan menyingkat-nyingkat pangkat dan istilah, seperti istilah Brigadir Polisi Satu disingkat menjadi Briptu, Brigadir Polisi Dua disingkat menjadi Bripda, hingga istilah komando 'mengerti' cukup disingkat menjadi Siap 69, eh… Siap 86.

Saya rasa melawan arus lalu lintas bukanlah perbuatan yang keren lagi. Agakanya ada satu hal lagi yang jauh lebih keren yang patut dicoba oleh orang-orang yang suka melawan arus, yaitu melawan arus listrik.

Yang saya sayangkan, kenapa polisi lebih sering menjebak kita ketimbang mencegah agar kita tidak berbuat langgar peraturan lalu lintas. Harusnya polisi lebih banyak melakukan tindakan preventif daripada seolah-olah membiarkan kesalahan yang terjadi agar tampak dibenarkan padahal ujung-ujungnya mereka sedang memasang perangkap.

Saat saya menulis bagian yang ini, saya baru saja ngobrol-ngobrol dengan bapak-bapak setengah baya yang juga senasib sepenanggungan dengan saya, menunggu sidang penilangan. Bapak-bapak tersebut terlihat cukup beda daripada orang yang senasib sepenanggungan dengan saya yang lain. Dengan rambut yang terlihat serba putih, gestur yang tampak serba hati-hati, serta volume bicara yang terdengar pelan, dia tampak lebih tua dibanding  dengan orang-orang yang berada di ruang sidang, apalagi jika dibandingkan dengan saya. Bedanya jauh.

Proses sidang yang begitu lama dimulai membuat begitu banyak topik yang sempat kami bahas. Mulai dari ditilang di mana? Kenapa bisa di tilang? Tinggal di mana? Hingga pekerjaan. Dari caranya berbicara sepertinya beliau orangnya suka bercanda.

Beliau sempat juga mengetes kesotoyan saya dengan menyuruh saya menebak usianya saat saya menanyakan usia beliau.

“Coba tebak usia saya berapa?’ 
 
“Hmm… Sekitar 70 lebih dikit. Bener ga pak?”
 
“Hampir bener mas… Usia saya sekarang 74 tahun…”

  “Hehehe... tapi kok keliatan kayak masih mudaan dikit yah pak”,
 
“Emang saya keliatan kayak umur berapa mas?”, 
 
“Kayak umur 73 tahun pak. Hehe…”.

Kami pun sama-sama tertawa, seperti layaknya orang yang sudah lama saling mengenal, seperti seorang kakek dan cucunya.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan, saya jadi tau bahwa : Beliau ditilang di daerah Prumpung, Jakarta Timur. Beliau ditilang kerena adanya rambu lalu lintas baru yang melarang untuk belok ke kiri. Beliau juga mengaku bahwa dia sering melintas di jalan tersebut, tapi baru kali itu kena tilang karena tidak tau adanya rambu lalu lintas baru tersebut.

Sebenarnya agak kasian juga, orang se-antik (sesuatu yang menarik yang sudah berusia tua) beliau masih harus bekerja di jalanan, harus berurusan dengan petugas juga gara-gara alasan melanggar rambu lalu lintas yang katanya masih baru itu.

Saat saya tanya pekerjaan, beliau menjawab bahwa dia seorang pensiunan, saat ini dia mempunyai usaha yang mengharuskan dia untuk berkeliaran di jalan menggunakan sepeda motor mengantar-antar barang. Apapun itu, saya salut dengan bapak-bapak tersebut.

“Pak, kalo PNS emang masuk kerjanya mulai jam berapa?”,
 
“Seharusnya sih mereka mulai duduk di balik meja jam 08.00”,
 
“Termasuk orang-orang yang di sini juga seharusnya gitu juga ya Pak?’,  Bapak itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

Agak miris juga, sidang yang harusnya di mulai pukul 08.00 sampai jam 09.00 kurang masih belum juga dimulai. Entah prosedurnya yang memang begitu atau memang petugasnya yang membelot.

“Sekarang bagaimana warga sipil tidak suka melanggar kalo petugas lembaga yang menangani orang-orang yang melanggar saja berbuat melanggar peraturan seperti demikian ya pak?”,

Lagi-lagi kami tertawa. Lagi-lagi tampak seperti seorang kakek dan cucunya.

Baru-baru ini kita juga dihebohkan dengan maraknya begal-begal yang meresahkan. Sebagai penggendara sepeda motor, terus terang saya merasa resah. Apalagi begal-begal tersebut terkenal kejam dan beraksi tanpa mengenal waktu, baik pagi, sore, siang dan malam. Yang saya khawatirkan adalah kebetulan saya bertemu dengan begal yang antimainstream. Mereka mencegat saya di tengah jalan dengan paksa, membacok motor saya, dan terakhir membawa kabur saya untuk kemudian dijual secara terpisah. Ngeri banget nggak tuh?

Kebetulan belum lama ini juga diberitakan seorang begal tewas dihakimi oleh massa dengan cara dibakar hidup-hidup.  Cara yang sama kejamnya seperti yang dilakukan oleh begal yang juga sering menghilangkan nyawa korbannya. Lantas apa yang membuat kita berpikir bahwa orang-orang kalap tersebut tidak lebih buruk dari para begal itu sendiri?

Bukankah sudah seharusnya begal-begal tersebut diserahkan kepada pihak yang berwajib, bukan dihakimi secara beramai-ramai demikian. Bukan apa-apa, masalahnya masa tega sih ngebiarin polisi makan gaji buta? Masa harus kita juga yang selain jadi saksi dan korban, harus juga turun tangan mengadili para pelakunya, lantas tugas para polisi itu selama ini ngapain?

Oke, terakhir, sebagai pengendara sepeda motor yang sering resah, rasanya nggak afdol kalo nggak sekalian bagi-bagi tips buat pengendara sepeda motor lainnya. Dan berikut ini adalah tips berkendaraan roda dua dari saya :
 
  1. Sebelum digunakan ada baiknya motor dipanasi. Selain bertujuan meningkatkan performa mesin, memanaskan motor  juga bertujuan agar motor tidak basi.
  2. Lengkapi surat-surat kendaraan. Sadar nggak apa yang pertama kali petugas tanyakan kepada kita ketika mereka melakukan pemeriksaan? Iya betul, SIM dan STNK. Bukan surat cinta, surat nikah, apalagi surat tanah.
  3. Mengunakan helm (wajib hukumnya), serta jaket, sarung tangan, dan masker (sunah/boleh pake boleh nggak). Saya sendiri menggunakan masker selain bertujuan untuk mengurangi udara kotor yang masuk ke hidung, saya sadar bahwa lubang hidung saya berukuran lebih besar dari pada lubang hidung manusia pada umumnya, saya takut hidung saya mendadak kemasukan spion ataupun knalpot kendaraan yang ada di depan saya. 
  4. Bila di tengah perjalanan anda merasa ngantuk, sebaiknya anda menepi dan beristirahatlah sejenak. Karena yang saya tau mengantuk itu dapat menyebabkan tidur. Akan sangat berbahaya sekali bukan jika anda mendadak tidur saat anda mengendarai sepeda motor?

Sekian sedikit tips dari saya yang tidak wajib diikuti oleh kalian sebagai pengendara sepeda motor.

Bersamaan dengan dipublikasikannya tulisan ini, saat itu juga saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi lagi kesalahan saya. Maaf, bukan saya sok-sokan jadi orang bener, saya hanya ingin sedikit memperbaiki sistem hidup saya yang selama ini saya anggap salah. Kalo hidup kita tidak mengikuti peraturan yang dibuat oleh Tuhan dan manusia, terus kita mau mengikuti peraturan dari siapa lagi coba?

Baca juga

2 komentar

  1. bang, macet pas musim lebaran enggakk ada tuh. Gue bener kan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan ga ada, cuma dibagi-bagiin ke kota lain aja :)

      Hapus

Featured Post

Catatan Hati Seorang Pengendara Sepeda Motor

Hampir lima tahun sudah saya menjadi pengguna setia jalanan di Jakarta, hampir lima tahun juga saya mulai membiasakan diri untuk menik...

Like us on Facebook

Ads