Alias

Senin, April 13, 2015

Orang tua saya memberikan nama yang cukup singkat, tidak ribet dan langsung to the point ke pada saya. Sesuai dengan akte kelahiran, di situ nama saya hanya tertulis : SLAMET. Hanya terdiri dari 6 huruf (4 huruf konsonan dan 2 huruf vokal). Tanpa nama depan, nama belakang apalagi nama keluarga. Sungguh sangat tidak kreatif sekali orang tua saya.

Terkadang saya masih suka heran dengan beberapa orang yang masih saja salah atau lupa menyebut nama saya. Padahal nama tersebut sudah dibuat dengan sangat simpel, minimalis dan gampang sekali untuk diingat menurut saya. Tapi entah kenapa masih saja ada orang yang memanggil saya dengan Rahmat, Mamat, malah ada juga yang pernah memanggil saya dengan nama Somad.

Banyak yang bilang bahwa nama adalah doa, mungkin memang benar. Sesuai dengan maknanya, orang tua saya dulu mungkin mengharapkan agar saya selalu selamat dan aman dalam keadaan apapun. Tapi apakah orang tua saya saat itu tidak memikirkan bahwa nama tersebut itu sudah banyak sekali digunakan oleh orang lain untuk menamai anaknya? Di mana hal tersebut sangat berpotensi membuat saya jadi sering nggak pede saat saya berkenalan dengan orang lain ataupun saat saya sedang berada di tempat umum yang mengharuskan saya untuk menyebutkan nama saya sendiri, termasuk juga saat saya melakukan pendekatan dengan cewek saat saya masih belum punya pasangan hidup dulu.

Entah mengapa saya merasa bahwa nama yang saya sandang ini seperti sebuah aib. Membuat saya kelihatan jadi tidak keren, terutama di hadapan cewek-cewek. Saya selalu seolah-olah bisa membaca apa yang cewek-cewek pikirkan tentang saya ketika berkanalan dengan saya : "Udah mukanya nggak ganteng, namanya pasaran banget lagi. Najis lo...!!!". Dan hal ini bakalan membuat saya jadi tambah susah buat punya pacar.

Seandainya saja dulu orang tua saya tau bahwa masih banyak pilihan nama lain yang bisa digunakan oleh mereka untuk memberikan nama yang bermakna selamat dan aman kepada saya. Seandainya saja saya yang saat itu masih bayi bisa protes dan usul kepada orang tua saya, mungkin nama di Akte Kelahiran dan Kartu Penduduk saya tidak akan sepasaran ini. Bukankah nama lain yang memiliki makna serupa dengan nama Slamet itu banyak? Buanyaaaak banget. Ada Salim, Sugeng, Rahayu, dll (Nama-nama yang saya sebutkan tadi masih dalam bahasa lokal, belum menggunakan bahasa asing yang bermakna sama). Seandainya saja mereka mau sedikit lebih kreatif, mungkin mereka bisa mengkombinasikan nama-nama tersebut agar terdengar lebih panjang sekaligus doa mereka lebih mantap meskipun agak mubazir : Slamet Salim Sugeng Rahayu.

Sekarang saya sadar semua itu memang udah nggak bisa ditawar lagi, kalaupun seandainya bisa, saat ini saya sama sekali sudah tidak berniat untuk mengubah nama saya. Saya sudah bisa terima dengan lapang dada nama yang telah orang tua saya berikan dengan penuh harapan tersebut. Setidaknya saya masih bersyukur orang tua saya tidak memberikan nama yang bermakna buruk ataupun nama yang aneh kepada saya.

Dalam perjalanan waktu, sebenarnya saya memilki cukup banyak nama alias atau nama sebutan lain yang digunakan untuk memanggil saya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Alias memiliki makna disebut juga; sama dng (digunakan pd nama) atau bisa juga bermakna nama samaran.

Dan berikut beberapa nama yang cukup populer di antaranya adalah :

Mame
 
Mungkin beberapa orang sudah tidak asing lagi dengan nama panggilan tersebut, sebab rata-rata orang yang memiliki nama yang serupa dengan saya kemungkinan besar dipanggil Mame juga oleh orang-orang sekitar. Panggilan Mame sebenarnya merupakan panggilan akrab, jadi hanya orang-orang yang kenal dan dan merasa dekat dengan saya doang yang nyaman memanggil saya dengan panggilan tersebut.

Entah siapa yang pertama kali menemukan nama panggilan tersebut, yang pasti kata Slamet dan Mame itu nggak nyambung.
Sahrul Kurapan (Kurap)

Nama julukan ini cukup populer di kalangan teman-teman sepermainan saya sewaktu SD.

Ada cerita menarik di balik nama tersebut. Di mana di masa itu sedang populer-populernya sinetron yang cukup horor di jamannya, yaitu sinetron Jin Dan Jun (Iya horor... soalnya ada penampakan jin-nya, hahaha...). Di saat yang bersamaan saya juga aktif belajar mengaji kepada seorang ustad yang cukup gaul. Mungkin ustad tersebut melihat ada kemiripan antara model rambut saya dengan rambut tokoh Jun yang diperankan oleh Sahrul Gunawan. Di mana kita sama-sama memiliki model rambut yang dibelah di tengah, sebuah model rambut yang bentuknya hampir mirip seperti pantat tengkurep kalo saya amati.

Sejak saat itu nama panggilan tersebut mulai melekat pada saya, bukan hanya dikalangan teman-teman ngaji, tapi juga di kalangan teman-teman sekolah. Mungkin karena nama Sahrul Kurapan terdengar terlalu panjang dan ribet, teman-temanpun menyingkatnya menjadi hanya 'Kurap'.

Awalnya saya biasa-biasa saja dengan panggilan tersebut, tidak ada masalah, namun lama-lama akhirnya panggilan 'Kurap' yang sudah terlanjur menyebar luas dari mulut ke mulut tersebut, mulai membuat saya merasa terganggu terutama setelah saya sadar bahwa 'Kurap' adalah merupakan nama sebuah penyakit kulit. Dan itu kembali membuat saya tambah tidak terlihat keren lagi di hadapan cewek-cewek.

Bersyukur, akhirnya dengan seiring waktu perlahan panggilan tersebut hilang setelah saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Mr. Save dan Mad Man 

Dua nama panggilan tersebut saya dapatkan ketika saya masih duduk di bangku SMP. Nama yang cukup kebule-bulean tersebut tidak lain diberikan oleh dua guru Bahasa Inggris yang berbeda. Nama Mr. Save diberikan oleh Ibu Endang Puji Rahayu, Guru Bahasa Inggris kelas 3 yang merangkap sebagai Wali Kelas. Kebetulan beliau merupakan salah satu guru favorit saya. Bisa jadi nama julukan tersebut merupakan terjemahan dari nama saya ke dalam bahasa inggris.

Nama yang kedua diberikan oleh Bapak Endon Suhardi, guru Bahasa Inggris kelas 2 yang merangkap sebagai Guru Pembimbing (BP/BK). Jika nama Mr. Save merupakan nama julukan kesayangan, sebaliknya Mad Man merupakan nama ejekan, gara-gara saat kelas 2 dulu penampilan saya sering menyalahi aturan. Memakai celana pendek dengan panjang sampai melewati lutut (padahal aturannya 10 cm di atas lutut), baju bagian bawah tidak dimasukan ke celana, serta rambut saya yang sering gondrong.

Nama-nama tersebut hanya populer dikalangan teman-teman 1 kelas saja.

Ustad

Bukan. Bukan karena saya banyak ayat-ayat suci yang hapal di luar kepala, bukan juga karena saya suka memberi tausiyah kepada orang lain, tapi nama panggilan yang diberikan oleh teman-teman semasa bekerja di Cibitung ini tidak lepas dari penampilan saya yang membiarkan jenggot tumbuh dengan liar dan tak terurus. Maklum, saat itu saya bekerja 6 hari dalam seminggu, berangkat pagi buta dan pulang juga petang buta. Tanggal merah dan hari libur saya manfaatkan untuk memuaskan hobi dan minat saya, yaitu tidur. Jadi nggak ada waktu luang yang tersisa untuk sekedar mengurus jenggot.

Omet

Nama ini sebenarnya bukanlah nama yang diberikan oleh orang lain, melainkan saya sendiri yang berinisiatif. Nama ini mulai saya pakai untuk menyebut nama saya sendiri sejak jaman mIRC dan Friendster masih berjaya (Iya saya memang tua...). Lagi-lagi alasan 'nggak pede' saya gunakan untuk menggunakan nama samaran.

Selain digunakan untuk berselancar di dunia maya, nama Omet juga saya gunakan sebagai nama panggung, maklum kebetulan saat itu saya masih jadi anak band dan sangat terobsesi untuk jadi seoarang musisi. Karena saya pikir nama Slamet tidak akan terdengar keren untuk seorang anak band. Dan untuk menambah kesan lebih ngerock, saya tambahkan juga kata Rockavanka di belakang nama Omet.

Meskipun saya sudah tidak aktif lagi memainkan alat musik, namun nama tersebut masih saya pakai hingga saat ini. Setidakya nama tersebut bisa saya gunakan sebagai nama pena saya.

Ayah

Sejak istri saya resmi melahirkan putri pertamanya, di saat yang bersamaan juga saya resmi menjadi seorang ayah. Meskipun saat putri saya lahir belum mampu berbicara, tapi saya dan istri selalu membiasakan untuk memanggil saya dengan panggilan Ayah.

Sebenernya banyak yang kurang setuju dengan panggilan tersebut. Terutama mereka-mereka yang saya sebut tidak kekinian. Mereka beranggapan bahwa sebutan Ayah hanya pantas untuk kalangan orang-orang yang berada atau mungkin orang-orang dengan status sosial yang terpandang. Sedangkan untuk saya yang bukan apa-apa, bagi mereka sangat tidak cocok.

Kalau boleh saya menyangkal dengan analisa bodoh saya, panggilan Ayah menurut saya lebih terdengar menggambarkan ikatan antara anak dengan orang tuanya dari pada panggilan Bapak. Sebab pada prakteknya, panggilan Ayah hanya ditunjukan untuk orang tua laki-laki, sedangkan panggilan Bapak terdengar lebih umum dan jangkauannya lebih luas. Bisa saja kita memanggil Bapak kepada siapa saja orang  laki-laki yang tidak pernah kita kenal sebelumnya yang usianya lebih tua dari kita yang baru kita temui di jalan. Jadi nggak terlihat jelas perbedaan mana orang tuanya, mana yang bukan. Gitu aja sih...

Kira-kira dengan alias-alias itulah mereka-mereka memanggil saya selain menyebutkan nama asli saya yang cukup pasaran ini. Sebenarnya masih banyak nama-nama lain, hanya saja saya malas untuk mengingatnya.

Pesan saya : Untuk orang-orang yang mungkin senasib dengan saya, mulai sekarang cobalah untuk berpikir positif. Orang tua yang baik tidak akan mungkin sembarangan memberikan nama untuk anak-anaknya. Kalaupun ada, mungkin mereka sedang khilaf. Nggak perlu minder selama nama kamu bermakna positif. Sebab belum tentu mereka-mereka yang memiliki nama keren, bisa paham dan mengerti betul apa makna dibalik nama mereka. Jika kamu merasa nama kamu pasaran, cobalah untuk bersyukur, sebab berarti nama yang kamu sandang merupakan salah satu nama yang keren. Bukankah sesuatu yang bernilai bagus selalu laku, dicari dan dipake banyak orang? Iya nggak?

Baca juga

2 komentar

Featured Post

Catatan Hati Seorang Pengendara Sepeda Motor

Hampir lima tahun sudah saya menjadi pengguna setia jalanan di Jakarta, hampir lima tahun juga saya mulai membiasakan diri untuk menik...

Like us on Facebook

Ads